Dalam hukum
perburuhan jenis perselisihan hubungan industrial di bagi ke dalam
empat kategori, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar
serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Perselisihan
hak diartikan sebagai perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja (PK),
perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perusahaan (PP).
Sementara
perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang muncul dalam hubungan
kerja akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan
atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam PK, PKB atau
PP.
Perselisihan PHK timbul manakala terjadi silang pendapat antara pekerja maupun pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Jenis
perselisihan lain adalah perselisihan antar serikat pekerja dalam satu
perusahaan. Perselisihan ini muncul manakala terjadi kesalahpahaman
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
> Mediasi
Penyelesaian
perselisihan melalui mediasi ini diatur dalam Pasal 8 sampai Pasal 16
UU PPHI. Mediasi dipimpin oleh mediator yang berada di setiap kantor
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota. Kadang menggunakan nomenklatur sukudinas ketenagakerjaan
(sudinaker).
Mengenai
ruang lingkup perselisihan, mediasi tergolong sebagai lembaga
alternatif yang lebih istimewa ketimbang konsiliasi dan arbitrase.
Betapa tidak. Dari empat jenis perselisihan hubungan industrial, tidak
ada satu pun yang lepas dari jangkauan ruang lingkup mediasi.
Keistimewaan lain mediasi terlihat dari bunyi Pasal 4 Ayat (4). Pasal itu merumuskan, dalam
hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi
atau arbitrase dalam waktu tujuh hari kerja, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator. Artinya, tanpa susah payah, mediator pasti akan kebagian mengurusi kasus perselisihan hubungan industrial.
Dalam
menjalankan tugasnya, mediator harus mengupayakan agar tercapai
kesepakatan di antara pihak yang bertikai. Jika terwujud, maka
kesepakatan perdamaian itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama.
Si mediator tentunya ikut menandatangani perjanjian itu dalam
kapasitasnya sebagai saksi. Lebih lanjut perjanjian itu kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Namun
dalam praktik, upaya mediator mendamaikan para pihak lebih sering
menemui kegagalan. Jika demikian, maka mediator akan mengeluarkan sebuah
anjuran tertulis yang isinya meminta agar salah satu pihak melaksanakan
atau tidak melaksanakan sesuatu.
Apabila
tidak ada keberatan dari para pihak atas anjuran tertulis, maka para
pihak harus menuangkan kesepakatannya kedalam perjanjian bersama.
Lagi-lagi perjanjian bersama itu harus didaftarkan ke PHI. Tapi jika
para pihak merasa tidak puas dengan anjuran tertulis, para pihak
menyelesaikan perselisihannya ke PHI.
> Konsiliasi
Jika
lembaga mediasi boleh menangani semua jenis perselisihan hubungan
industrial, tidak demikian dengan konsiliasi. Sesuai dengan Pasal 1
angka 13 UU PPHI, konsiliasi hanya berwenang menangani perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.
Artinya, konsiliasi tidak berwenang atas perselisihan hak.
Seorang
konsiliator baru bisa bertindak untuk menangani perkara ketika ada
permintaan tertulis dari para pihak. Tentu saja permintaan tertulis itu
baru ada setelah kedua belah pihak menyepakati siapa konsiliator yang
dipilih. Dalam menjalankan tugasnya, konsiliator yang nota bene adalah
pihak swasta yang independen, dapat memanggil saksi atau ahli dalam
sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
Sama
halnya dengan mediator, konsiliator bisa mengeluarkan anjuran tertulis
jika tidak tercapai perdamaian di antara kedua belah pihak. Sebaliknya,
jika perdamaian tercapai, maka konsiliator bersama dengan para pihak
dapat menandatangani perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan ke
PHI.
> Arbitrase
Ruang
lingkup arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
lebih sempit ketimbang yang lain. Arbitrase hanya berwenang menangani
perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja
dalam satu perusahaan.
Sama
halnya dengan konsiliasi, arbitrase baru bisa ditempuh ketika para yang
pihak berselisih sudah menuangkan kesepakatan tertulis. Kesepakatan itu
tercantum dalam perjanjian arbitrase yang berisikan nama lengkap dan
alamat para pihak yang berselisih, pokok-pokok persoalan yang menjadi
perselisihan, jumlah arbiter yang disepakati, pernyataan tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase serta tanggal, tempat dan tanda tangan
para pihak.
Prosedur untuk berperkara lewat arbitrase tidak cukup berhenti di situ. Para pihak masih harus membuat sebuah perjanjian tertulis lain, yaitu perjanjian penunjukan arbiter. Di
sini para pihak diberi opsi antara menunjuk arbiter tunggal atau
beberapa arbiter. Dalam perjanjian penunjukan arbiter ini, salah satu
yang dibahas adalah biaya arbitrase dan honorarium arbiter.
Sebelum
memulai persidangan arbitrase, biasanya arbiter berupaya mendamaikan
para pihak. Jika berhasil, maka akan dibuatkan perjanjian bersama yang
didaftarkan ke PHI. Sebaliknya, jika upaya mendamaikan gagal,
persidangan arbitrase dilanjutkan dengan pemanggilan para saksi. Produk
dari persidangan arbitrase ini adalah putusan arbitrase yang sifatnya
final dan mengikat. Bahkan putusan arbitrase ini juga dilengkapi dengan irah-irah lazimnya putusan pengadilan yang berbunyi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar